Minggu, 11 Oktober 2009

What will be will be


Dia orang muda yang energik, paling tidak di mata keluarganya adalah pebinis yang berhasil, anak yang cukup berbakti pada orang tua. Pertemuanku yang pertama kali dengannya dan sempat omong-omong selama lebih dari satu jam untuk pertama kalinya memberiku sebuah wawasan baru. Sayangnya terlambat untuk jenis kebutuhan wawasan untukku yang memasuki masa manula. Tentu ini hal sangat subyektif. Tetapi bagaimanapun disamping aku perlu memberi rasa hormat dengan keterus terangannya dalam memandang diriku, aku juga berterima kasih karena aku seperti diingatkan untuk bercermin diri.
Ceritanya dalam percakapan yang panjang saat itu secara tidak langsung mengenai ulu hatiku yang dalam dengan pertanyaan ‘jujurkah aku pada diriku sendiri?’ Aku juga menjadi bertanya-tanya tentang masa mudaku yang kurang antusias menatap hidup ini. Ketika aku sekolah, aku tidak pernah berpikir kelak aku mau jadi apa. Bahkan ketika aku harus meninggalkan bangku kuliah yang setengah jalan. Aku tidak responsif terhadap tantangan-tantangan masa depan. Aku melewati masa-masa itu – entah sadar atau tidak – hanya mengikuti apa yang mesti aku lewati. ‘What will be, will be’, kata orang sono. ‘Opo jare ngko’, kata bapakku.
Kemudian nasib membawaku jadi PNS (pegawai negeri sipil). NIP yang singkatan dari Nomor Induk Pegawai diplesetkan menjadi ‘nrimo ing pandum’ (menerima apa yang diberikan Tuhan) cocok untuk diberlakukan bagi karakterku. Nggak semangat, nggak mikir nanti mau bagaimana, nggak punya daya saing. Pokoknya loyo! Hingga aku pension aku masih tidak bisa mengerti kriteria yang dimaksud untuk ‘manusia sukses’ masa kini itu yang seperti apa. Dalam perbincangan pengisi waktu istirahat saat kerja bakti 17 Agustusan nampaknya tidak ada kesepakatan umum. Hal subyektif yang lain lagi.
Lalu apa kaitannya dengan pertanyaan ‘jujurkah aku pada diriku sendiri?’ Ini berkaitan ketika orang muda yang aku ceritakan diatas bercerita dengan penuh antusias tentang keberhasilannya berbisnis yang membuahkan ia dapat memenuhi apa yang ia inginkan. Dan ia sangat yakin keinginan-keinginan yang sekarang belum terpenuhi suatu saat nanti akan terpenuhi. Aku tiba-tiba bertanya pada diri sendiri, benarkah aku sudah tidak punya keinginan apa-apa? Sehingga aku lebih ‘nrimo ing pandum’ dari sebelum aku menjalani masa pension? Atau aku menjadi sadar tentang ketidak jujuranku pada diri sendiri. Karena aku harus menjawab sendiri pertanyaan ‘benarkah hatiku telah aman dan nyaman’ dengan kondisi yang ada sekarang, yang ‘opo jare ngko’. Benarkan aku bisa tidak peduli misalnya cucuku ingin sesuatu, sedang orang tuanya mungkin belum bisa menuruti keinginannya. Yakinkah aku kalau aku tidak akan pernah merepotkan anak-anak pada suatu saat, entah kapan? Ketika aku semakin renta, misalnya. Sederetan pertanyaan muncul secara tiba-tiba, yang selama ini tidak pernah kupikirkan. Aneh. Sebenarnya, tidak jujurkah aku? dalam menjalani hidup dengan ‘motto’ : ‘Opo jare ngko’. Kalau aku mengingat semua masa laluku, dimanakah sebenarnya ‘masalah’ ku. Atau adakah misteri dibalik ‘opo jare ngko’? yang katanya cermin dari penyerahan diri itu.