Rabu, 07 Oktober 2009

Manusia tidak pernah konsisten

Siapapun tahu bintang atau star itu apa. Bintang adalah benda angkasa yang berada nun jauh disana. Memancarkan sinar berkedap kedip dimalam hari. Apakah itu murni sinarnya sendiri sebagai akibatnya di siang hari menjadi tak nampak karena kalah dengan sinar matahari atau karena memantulkan sinar yang di tampung di siang hari dari cahaya matahari lalu dipancarkan kembali di malam hari seperti pada kunang-kunag, ada yang lebih syah untuk menjelaskannya. Disini aku cuma ingin menjadikan contoh kasus yang menunjukkan ketidak konsistenan manusia.
Bintang-bintang itu oleh manusia dikatakan berada diatas karena manusia melihatnya dari bawah. Manusia menjadikan bintang sebagai sesuatu yang agung dan mulia karena juga keberadaannya yang diatas itu juga. Sehingga manusia sering menjadikan bintang sebagai simbol atau lambang yang mencerminkan harapan-harapan yang sakral dan melambung. Contohnya gambar bintang dipasang pada bendera-bendera agar keagungannya memberi berkah seperti yang diharapkan. Bintang juga dipakai sebagai gambar merk dagang agar semakin laku terjual. Tetapi disisi yang lain manusia bilang ‘lapangan sepak bola bertabur bintang’. Lho bintangnya kok di lapangan! Manusia juga menggambarkan hal lain dengan ‘kawin cerai menjadi dunia para bintang’. Lho dimana kemuliaan yang tergambar dalam benaknya dengan mempersonifikasikan bintang dalam kasus ini! Ada lagi yang bintang digambarkan sebagai isyarat bencana besar akan terjadi pada dunia manusia. Lain lagi, kalau manusia menggambarkan diri ketika pusing dengan keluar bintang-bintang dari kepalanya dengan ungkapan bahasa sebagai ‘berkunang-kunang’, maka mungkin ketika bintang pusing memikirkan ulah manusia akan menggambarkan dari dirinya keluar manusia-manusia.

Coba gambar berikut ini anda amati, menurut anda gambar yang mana – secara berturut-turut - menunjukkan tingkat peradaban manusia. Boleh dari tingkat rendah ke tinggi atau sebaliknya,terserah anda saja.
Pasti deh, anda tidak akan konsisten, itu bila anda tidak sekedar melihat yang nampak dari penampilan masing-masing.
Uraian di dalam buku Zhuan Falun dapat ditangkap suatu pemahaman bahwa bahasa manusia itu sangat dangkal, sebagai akibatnya mudah terjadi pemelintiran makna sehingga mengakibatkan kerancuan dan memberi potensi konflik, terbuka maupun terselubung.