Minggu, 04 Oktober 2009

Membingkai diri dengan kebodohan

Lima tahun yang lalu, saat anak tetanggaku dilahirkan dengan bobot 3,5 kg dan panjang 51 cm, sering kali aku melihat neneknya menggendongnya lewat depan rumahku sambil berjalan-jalan pagi. Seorang bayi mungil yang tidur pasrah dalam gendongan neneknya. Hari demi hari bayi itu tumbuh semakin besar dan nampak lucu. Siapapun senang melihatnya. Ibunya setiap kali bertemu denganku dari mulutnya meluncur cerita-cerita yang tak habis-habisnya tentang perkembangan anaknya. Mulai dari menangis ketika minta ASI, kemudian bisa miring, lalu tengkurap dan merangkak. Akhirnya sebelum usianya genap satu tahun sudah bisa berjalan. Kalau pagi hari tidak lagi digendongnya, tetapi dibiarkannya berjalan tertatih-tatih. Aku ikut bahagia melihatnya. Kemudian sebelum anak itu masuk taman kanak-kanak, sudah bisa naik sepeda roda dua kecil. Bahkan berani adu cepat dengan kawan diatas bayanya. Suatu saat ketika aku goda, ia lari sambil ketawa-ketawa. Tetapi kini aku tak bisa mengejarnya lagi kalau ia ganti menggodaku. Mengapa kemajuan tidak ada pada orang seusiaku. Mengapa aku tidak bisa meloncat atau bahkan terbang. Mengapa kemajuan pada orang seusiaku menjadi mandeg. Kelas nol besar ia sudah lancar membaca dan berhitung sampai seratus. Apa saja dibacanya. Bahkan mampu mengucapkan beberapa kata bahasa Inggris dan Arab dengan lancar dengan mengerti artinya dalam bahasa Indonesia. Praktis pada usia 5 – 6 tahun ia sudah mengenal empat bahasa termasuk bahasa ibunya, bahasa Jawa. Hanya dalam jangka waktu 6 tahun kepandaiannya demikian pesat meningkat. Ketika aku melihat diriku sendiri, aku merasa menyesal mengapa dulu aku merasa tidak perlu belajar bahasa selain bahasa Indonesia. Aku merasa sudah cukup dengan bisa berbahasa Indonesia karena aku sudah bisa berkomunikasi dengan bahasa itu. Aku bayangkan, mungkin anak itu tidak hanya mampu berbicara dengan empat bahasa saja nantinya, bila ia tetap mau belajar. Mengapa aku dulu tidak selalu membuka diri untuk belajar apa saja toh tidak ada ruginya. Aku telah membingkai diriku dengan kebodohanku sendiri (Lunyu, Zhuan Falun). Yah, mestinya aku mencoba untuk menerima hal baru apapun agar tidak terkungkung dalam kebodohan itu. Sesuatu hal yang lebih salah dan buruk lagi adalah bila aku apriori pada sesuatu yang baru dan memberi penilaian hanya berdasarkan “katanya”dan yang “nampak dipermukaan”, tanpa mencoba untuk mencari tahu lebih jauh dan mebuktikannya sendiri.