Kamis, 01 Oktober 2009

Do’a dan takdir

Do’a dan takdir. Pengetahuanku tentang agama yang terlalu rendah membuat dua kata ini menjadi kontroversial dalam benakku. Kalau takdir itu adalah hak prerogratif Tuhan dalam menggariskan perjalanan hidup seseorang, maka siapapun tidak bisa dibenarkan untuk merubahnya. Sedang do’a adalah upaya manusia yang serasa merupakan usahanya merubah takdir yang faktanya tak satu orangpun terbukti bisa mengetahui takdirnya. Tetapi hampir semua orang yang berdo’a mengatakan kepadaku justru karena mereka tidak tahu takdirnya maka harus berdo’a. Dan itu adalah wajib, katanya. Apakah ini bukan sebuah protes lewat cara damai terhadap ketentuan/takdir Tuhan? Pertanyaan yang paling mendasar buatku menjadi: apa yang dimaksud percaya pada takdir kalau masih beramai-ramai berdo’a (protes cara damai). Mengapa tidak “mau tidak mau” serahkan saja semua pada Sang Penentu dan wajibnya adalah menerima apa adanya. Usaha adalah sebuah cara. Harapan adalah sebuah transisi sebuah usaha untuk sebuah keberhasilan. Siapa berusaha dia akan mendapatkannya. Dalil buatan manusiakah ini? Karena ada orang yang sudah jungkir balik berusaha tetapi harapannya juga tak kunjung tiba. Kalau “siapa berusaha dia akan mendapatkannya” tetapi akhirnya tidak behasil, terbuktilah bahwa dalil ini tidak valid. Kalau ini dalil Tuhan, ia telah berjuang dan juga tidak berhasil, maka Tuhan telah melepas kepala tetapi menggenggam ekornya. Itulah hak prerogratif. Kalau itu terjadi padaku, apakah yang semestinya aku lakukan? Aku semakin harus menghormati hak prerogratif Tuhan dan tidak mencoba untuk memprotesnya walau dengan cara damai sekalipun. Tetapi jalan pikiranku ini mengakibatkan orang berkata: “Kamu frustrasi!”. Benarkah aku frustrasi? Aku percaya takdir. Aku berusaha, tetapi segalanya aku kembalikan pada Nya. Tanpa tawar menawar. Apa lagi protes, walau dengan cara damai sekalipun. Manusia punya cara, tetapi semua cara adalah milik Nya. Kalau misalnya ada orang bertanya: “Mengapa kamu masih melakukan demi sesuatu”. Jawabku: “Begitulah cara manusia yang aku tahu untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Tidak ada yang jatuh dari langit secara tiba-tiba dan gratis untuk memenuhi kebutuhan fisikku”. Sedang do’a, dalam pemahamanku, hanya untuk yang berkaitan dengan spiritual-pendekatan diri pada Nya. Andaikata suatu ketika aku berdoa minta rejeki, kaya, sehat, panjang umur, hidup bahagia selamanya, lalu kapan aku berdo'a untuk hidup setelah matiku. Begitulah aku memahami posisi do’a.