Minggu, 18 Oktober 2009

Fa membuatku berhenti menyesal.

Aku sadar sepenuhnya menyesali sesuatu itu tidak perlu. Seiring dengan semakin mantapku mempelajari Dafa, rasanya menyesal bukanlah cara yang baik untuk mengingat masa lalu. Karena siapapun tidak luput dari kesalahan. Apalagi penyesalan yang berkepanjangan adalah keterikatan yang harus disingkirkan oleh orang yang xiulian Dafa. Secara sederhana, apakah yang bisa saya lakukan terhadap kekeliruan masa lalu karena perhitungan yang keliru. Kenyataannya, aku hanya bisa melakukan yang terbaik dalam keadaan yang ada.
Apalagi aku hanya bisa lebih baik dengan belajar dari kesalahanku. Keberhasilan hanya bisa dinikmati sesaat. Kalau kekeliruan tidak punya nilai apapun bagiku, aku pasti akan tetap dalam kebodohan. Kalau aku tidak pernah melakukan dan menyadari kesalahan, lalu apa tumpuan untuk keberhasilanku yang hanya bisa dinikmati sesaat itu. Mr. Li Hongzhi mengatakan, ‘kebahagiaan hanya sepenggal waktu ketika kita menikmati harapan-harapan’. Harapan-harapan yang baik itu dalam kenyataannya aku benar-benar tidak mengerti bila aku mencoba merangkainya dalam seluruh kehidupan yang begitu kompleks dan rumit ini. Baik dan buruk, menderita dan bahagia, seperti sepasang sisi mata uang, tak dapat dipisahkan. Kematangan dalam pengalaman batinlah yang bisa membuat dua hal itu semakin tidak terpisahkan dan tidak terbedakan, bukan untuk menjadi pilihan satu dari keduanya. Itulah salah satu pelepasan dari keterikatan.
Andaikata aku kelak terpaksa menjalani reinkarnasi lagi, apakah aku akan mengambil keputusan yang sama untuk kesempatan yang sama? Apakah keputusanku juga bisa terbaik untuk saat itu? Atau aku bahkan akan melakukan kekeliruan yang sama? Pengandaian yang terpikir karena aku menyesali masa lalu dan menguatirkan masa depan, membuatku telah melangkah pada keterikatan yang lain dan pada saat yang bersamaan membuktikan pemahamanku tentang Dafa terlalu dangkal.
Dafa semakin terasa kebesarannya. Pantaslah bila dikatakan ketersesatan manusia terlalu dalam. Membuktikan kebenaran Fa merupakan pilihan agar semakin cepat bisa melepas berbagai keterikatan, agar tidak ada lagi menyesali masa lalu dan menguatirkan masa depan. Merubah keterikatan menjadi berkah dari kekeliruan dan semua penyesalan. Kalau tidak ingin tetap merangkak dalam bingkai kebodohan, konsepsi diri harus berubah dalam memandang realita kehidupan. (Terinspirasi dari Lunyu, Zhuan Falun).

Minggu, 11 Oktober 2009

What will be will be


Dia orang muda yang energik, paling tidak di mata keluarganya adalah pebinis yang berhasil, anak yang cukup berbakti pada orang tua. Pertemuanku yang pertama kali dengannya dan sempat omong-omong selama lebih dari satu jam untuk pertama kalinya memberiku sebuah wawasan baru. Sayangnya terlambat untuk jenis kebutuhan wawasan untukku yang memasuki masa manula. Tentu ini hal sangat subyektif. Tetapi bagaimanapun disamping aku perlu memberi rasa hormat dengan keterus terangannya dalam memandang diriku, aku juga berterima kasih karena aku seperti diingatkan untuk bercermin diri.
Ceritanya dalam percakapan yang panjang saat itu secara tidak langsung mengenai ulu hatiku yang dalam dengan pertanyaan ‘jujurkah aku pada diriku sendiri?’ Aku juga menjadi bertanya-tanya tentang masa mudaku yang kurang antusias menatap hidup ini. Ketika aku sekolah, aku tidak pernah berpikir kelak aku mau jadi apa. Bahkan ketika aku harus meninggalkan bangku kuliah yang setengah jalan. Aku tidak responsif terhadap tantangan-tantangan masa depan. Aku melewati masa-masa itu – entah sadar atau tidak – hanya mengikuti apa yang mesti aku lewati. ‘What will be, will be’, kata orang sono. ‘Opo jare ngko’, kata bapakku.
Kemudian nasib membawaku jadi PNS (pegawai negeri sipil). NIP yang singkatan dari Nomor Induk Pegawai diplesetkan menjadi ‘nrimo ing pandum’ (menerima apa yang diberikan Tuhan) cocok untuk diberlakukan bagi karakterku. Nggak semangat, nggak mikir nanti mau bagaimana, nggak punya daya saing. Pokoknya loyo! Hingga aku pension aku masih tidak bisa mengerti kriteria yang dimaksud untuk ‘manusia sukses’ masa kini itu yang seperti apa. Dalam perbincangan pengisi waktu istirahat saat kerja bakti 17 Agustusan nampaknya tidak ada kesepakatan umum. Hal subyektif yang lain lagi.
Lalu apa kaitannya dengan pertanyaan ‘jujurkah aku pada diriku sendiri?’ Ini berkaitan ketika orang muda yang aku ceritakan diatas bercerita dengan penuh antusias tentang keberhasilannya berbisnis yang membuahkan ia dapat memenuhi apa yang ia inginkan. Dan ia sangat yakin keinginan-keinginan yang sekarang belum terpenuhi suatu saat nanti akan terpenuhi. Aku tiba-tiba bertanya pada diri sendiri, benarkah aku sudah tidak punya keinginan apa-apa? Sehingga aku lebih ‘nrimo ing pandum’ dari sebelum aku menjalani masa pension? Atau aku menjadi sadar tentang ketidak jujuranku pada diri sendiri. Karena aku harus menjawab sendiri pertanyaan ‘benarkah hatiku telah aman dan nyaman’ dengan kondisi yang ada sekarang, yang ‘opo jare ngko’. Benarkan aku bisa tidak peduli misalnya cucuku ingin sesuatu, sedang orang tuanya mungkin belum bisa menuruti keinginannya. Yakinkah aku kalau aku tidak akan pernah merepotkan anak-anak pada suatu saat, entah kapan? Ketika aku semakin renta, misalnya. Sederetan pertanyaan muncul secara tiba-tiba, yang selama ini tidak pernah kupikirkan. Aneh. Sebenarnya, tidak jujurkah aku? dalam menjalani hidup dengan ‘motto’ : ‘Opo jare ngko’. Kalau aku mengingat semua masa laluku, dimanakah sebenarnya ‘masalah’ ku. Atau adakah misteri dibalik ‘opo jare ngko’? yang katanya cermin dari penyerahan diri itu.

Rabu, 07 Oktober 2009

Manusia tidak pernah konsisten

Siapapun tahu bintang atau star itu apa. Bintang adalah benda angkasa yang berada nun jauh disana. Memancarkan sinar berkedap kedip dimalam hari. Apakah itu murni sinarnya sendiri sebagai akibatnya di siang hari menjadi tak nampak karena kalah dengan sinar matahari atau karena memantulkan sinar yang di tampung di siang hari dari cahaya matahari lalu dipancarkan kembali di malam hari seperti pada kunang-kunag, ada yang lebih syah untuk menjelaskannya. Disini aku cuma ingin menjadikan contoh kasus yang menunjukkan ketidak konsistenan manusia.
Bintang-bintang itu oleh manusia dikatakan berada diatas karena manusia melihatnya dari bawah. Manusia menjadikan bintang sebagai sesuatu yang agung dan mulia karena juga keberadaannya yang diatas itu juga. Sehingga manusia sering menjadikan bintang sebagai simbol atau lambang yang mencerminkan harapan-harapan yang sakral dan melambung. Contohnya gambar bintang dipasang pada bendera-bendera agar keagungannya memberi berkah seperti yang diharapkan. Bintang juga dipakai sebagai gambar merk dagang agar semakin laku terjual. Tetapi disisi yang lain manusia bilang ‘lapangan sepak bola bertabur bintang’. Lho bintangnya kok di lapangan! Manusia juga menggambarkan hal lain dengan ‘kawin cerai menjadi dunia para bintang’. Lho dimana kemuliaan yang tergambar dalam benaknya dengan mempersonifikasikan bintang dalam kasus ini! Ada lagi yang bintang digambarkan sebagai isyarat bencana besar akan terjadi pada dunia manusia. Lain lagi, kalau manusia menggambarkan diri ketika pusing dengan keluar bintang-bintang dari kepalanya dengan ungkapan bahasa sebagai ‘berkunang-kunang’, maka mungkin ketika bintang pusing memikirkan ulah manusia akan menggambarkan dari dirinya keluar manusia-manusia.

Coba gambar berikut ini anda amati, menurut anda gambar yang mana – secara berturut-turut - menunjukkan tingkat peradaban manusia. Boleh dari tingkat rendah ke tinggi atau sebaliknya,terserah anda saja.
Pasti deh, anda tidak akan konsisten, itu bila anda tidak sekedar melihat yang nampak dari penampilan masing-masing.
Uraian di dalam buku Zhuan Falun dapat ditangkap suatu pemahaman bahwa bahasa manusia itu sangat dangkal, sebagai akibatnya mudah terjadi pemelintiran makna sehingga mengakibatkan kerancuan dan memberi potensi konflik, terbuka maupun terselubung.

Minggu, 04 Oktober 2009

Membingkai diri dengan kebodohan

Lima tahun yang lalu, saat anak tetanggaku dilahirkan dengan bobot 3,5 kg dan panjang 51 cm, sering kali aku melihat neneknya menggendongnya lewat depan rumahku sambil berjalan-jalan pagi. Seorang bayi mungil yang tidur pasrah dalam gendongan neneknya. Hari demi hari bayi itu tumbuh semakin besar dan nampak lucu. Siapapun senang melihatnya. Ibunya setiap kali bertemu denganku dari mulutnya meluncur cerita-cerita yang tak habis-habisnya tentang perkembangan anaknya. Mulai dari menangis ketika minta ASI, kemudian bisa miring, lalu tengkurap dan merangkak. Akhirnya sebelum usianya genap satu tahun sudah bisa berjalan. Kalau pagi hari tidak lagi digendongnya, tetapi dibiarkannya berjalan tertatih-tatih. Aku ikut bahagia melihatnya. Kemudian sebelum anak itu masuk taman kanak-kanak, sudah bisa naik sepeda roda dua kecil. Bahkan berani adu cepat dengan kawan diatas bayanya. Suatu saat ketika aku goda, ia lari sambil ketawa-ketawa. Tetapi kini aku tak bisa mengejarnya lagi kalau ia ganti menggodaku. Mengapa kemajuan tidak ada pada orang seusiaku. Mengapa aku tidak bisa meloncat atau bahkan terbang. Mengapa kemajuan pada orang seusiaku menjadi mandeg. Kelas nol besar ia sudah lancar membaca dan berhitung sampai seratus. Apa saja dibacanya. Bahkan mampu mengucapkan beberapa kata bahasa Inggris dan Arab dengan lancar dengan mengerti artinya dalam bahasa Indonesia. Praktis pada usia 5 – 6 tahun ia sudah mengenal empat bahasa termasuk bahasa ibunya, bahasa Jawa. Hanya dalam jangka waktu 6 tahun kepandaiannya demikian pesat meningkat. Ketika aku melihat diriku sendiri, aku merasa menyesal mengapa dulu aku merasa tidak perlu belajar bahasa selain bahasa Indonesia. Aku merasa sudah cukup dengan bisa berbahasa Indonesia karena aku sudah bisa berkomunikasi dengan bahasa itu. Aku bayangkan, mungkin anak itu tidak hanya mampu berbicara dengan empat bahasa saja nantinya, bila ia tetap mau belajar. Mengapa aku dulu tidak selalu membuka diri untuk belajar apa saja toh tidak ada ruginya. Aku telah membingkai diriku dengan kebodohanku sendiri (Lunyu, Zhuan Falun). Yah, mestinya aku mencoba untuk menerima hal baru apapun agar tidak terkungkung dalam kebodohan itu. Sesuatu hal yang lebih salah dan buruk lagi adalah bila aku apriori pada sesuatu yang baru dan memberi penilaian hanya berdasarkan “katanya”dan yang “nampak dipermukaan”, tanpa mencoba untuk mencari tahu lebih jauh dan mebuktikannya sendiri.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Mau jadi komunis? Silakan

Siang tadi aku lihat di sebuah blog yang membuatku agak sedikit kaget. Ada artikel disana yang kurasakan secara tak langsung sebagai ungkapan simpati dari satu sisi dan kekecewaan terhadap ketidak adilan disisi yang yain. Yang membuat aku kaget adalah, sudah sekian lama aku tidak pernah lagi melihat gambar palu arit simbul partai komunis, di web itu gambar tersebut terpampang dengan sangat ekslusif. PLus artikel yang bisa berbau provokatif.
Aku sebagai pengikut aliran spiritual Falun Dafa yang sedang giat-giatnya berusaha menghentikan tindakan kekejaman komunis China terhadap pengikut Falun Dafa, otomatis hati ini terusik. Persoalannya bagi Falun Dafa adalah bukan komunisnya, tetapi penganiayaan dan kesewenang-wenangan serta ketidak adilan yang dikenakan pada para pengikut Falun Dafa, terutama di RRC. Ini adalah persoalan hak azasi yang sangat mendasar, yaitu keyakinan spiritual seseorang. Orang boleh mempunyai paham apapun, asal bukan dijadikan alat pemaksaan kepada orang lain. Ideologi boleh dengan macam apapun, asal bukan untuk menindas ideologi lain. Itulah persoalan mendasarnya. Falun Dafa tidak mengajari memusuhi atau membenci siapapun atau apapun, termasuk komunis manapun. Kalau komunis itu menjadi system pemerintahan sebuah Negara, itu adalah urusan Negara yang bersangkutan dalam upaya mengurusi warganya. Terutama dalam tatanan sosial dan administrasi keduniawian. Falun Dafa tidak mengarah pada ‘wilayah’ itu. Hanya orang yang pernah mempelajari Dafa dia akan tahu setahap demi setahap substansi Dafa yang tak bertepi tak berbatas.
Blogku ini baru dalam tahap percobaan. Awalnya aku ingin sekedar membuat catatan renungan, tetapi karena kulihat artikel dalam web itu, hatiku terusik untuk membuat ajakan. Ajakan bagi siapapun yang simpati kepada penganut paham komunis karena merasa diperlakukan tidak adil. Bahwa paham tentu boleh saja berubah. Yang tidak boleh berubah adalah hati yang seharusnya berbelas kasih pada siapapun. Harus selalu sadar dan waspada terhadap pemimpin atau pemuka sebuah paham, apakah menyimpang dari standard kemuliaan budi pekerti atau tidak. Apakah sudah dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri atau tidak, agar tidak menjadi korban peri laku seseorang. Dalam Falun Dafa standard itu adalah karakter alam semesta yang disebut dengan tiga kata: Sejati – Baik – Sabar. Dalam konteks ini, komunitas Falun Dafa sedunia berharap dihentikannya penindasan terhadap pengikut Falun Dafa yang masih terjadi di RRC. Falun Dafa tidak pernah membalas kebencian dengan kebencian, kekerasan dengan kekerasan. Komunitas Tionghoa perantauan dimanapun di dunia (tentu termasuk di Indonesia) – khususnya pengikut Falun Dafa - tidak pernah membenci pemerintahan di tanah leluhurnya. Komunitas Falun Dafa hanya ingin hak azasinya terpenuhi dengan kedamaian dan saling mengasihi diantara sesama. Harapanku, tulisan ini dapat dipahami dengan hati yang jernih dan pikiran yang rasional.
Falun Dafa Hao.

Kamis, 01 Oktober 2009

Do’a dan takdir

Do’a dan takdir. Pengetahuanku tentang agama yang terlalu rendah membuat dua kata ini menjadi kontroversial dalam benakku. Kalau takdir itu adalah hak prerogratif Tuhan dalam menggariskan perjalanan hidup seseorang, maka siapapun tidak bisa dibenarkan untuk merubahnya. Sedang do’a adalah upaya manusia yang serasa merupakan usahanya merubah takdir yang faktanya tak satu orangpun terbukti bisa mengetahui takdirnya. Tetapi hampir semua orang yang berdo’a mengatakan kepadaku justru karena mereka tidak tahu takdirnya maka harus berdo’a. Dan itu adalah wajib, katanya. Apakah ini bukan sebuah protes lewat cara damai terhadap ketentuan/takdir Tuhan? Pertanyaan yang paling mendasar buatku menjadi: apa yang dimaksud percaya pada takdir kalau masih beramai-ramai berdo’a (protes cara damai). Mengapa tidak “mau tidak mau” serahkan saja semua pada Sang Penentu dan wajibnya adalah menerima apa adanya. Usaha adalah sebuah cara. Harapan adalah sebuah transisi sebuah usaha untuk sebuah keberhasilan. Siapa berusaha dia akan mendapatkannya. Dalil buatan manusiakah ini? Karena ada orang yang sudah jungkir balik berusaha tetapi harapannya juga tak kunjung tiba. Kalau “siapa berusaha dia akan mendapatkannya” tetapi akhirnya tidak behasil, terbuktilah bahwa dalil ini tidak valid. Kalau ini dalil Tuhan, ia telah berjuang dan juga tidak berhasil, maka Tuhan telah melepas kepala tetapi menggenggam ekornya. Itulah hak prerogratif. Kalau itu terjadi padaku, apakah yang semestinya aku lakukan? Aku semakin harus menghormati hak prerogratif Tuhan dan tidak mencoba untuk memprotesnya walau dengan cara damai sekalipun. Tetapi jalan pikiranku ini mengakibatkan orang berkata: “Kamu frustrasi!”. Benarkah aku frustrasi? Aku percaya takdir. Aku berusaha, tetapi segalanya aku kembalikan pada Nya. Tanpa tawar menawar. Apa lagi protes, walau dengan cara damai sekalipun. Manusia punya cara, tetapi semua cara adalah milik Nya. Kalau misalnya ada orang bertanya: “Mengapa kamu masih melakukan demi sesuatu”. Jawabku: “Begitulah cara manusia yang aku tahu untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Tidak ada yang jatuh dari langit secara tiba-tiba dan gratis untuk memenuhi kebutuhan fisikku”. Sedang do’a, dalam pemahamanku, hanya untuk yang berkaitan dengan spiritual-pendekatan diri pada Nya. Andaikata suatu ketika aku berdoa minta rejeki, kaya, sehat, panjang umur, hidup bahagia selamanya, lalu kapan aku berdo'a untuk hidup setelah matiku. Begitulah aku memahami posisi do’a.

Mengikis dan bergeser

Enam puluh tahun sudah aku menikmati terbit dan tenggelamnya matahari. Sudah waktunya bagiku untuk semakin mengikis habis keinginan-keinginan walaupun sebagian besar tidak terealisasi sebagaimana aku harapkan. Bahkan aku rasakan sepertinya tidak akan terealisasi hingga akhir hayatku. Orang bilang aku tidak pandai berdoa. Bahkan orang bilang aku tidak pernah berdoa sepenuh hati. Orang yang lebih “jujur” lagi bahkan mengatakan meragukan kereligiusanku.

Bagiku sangat sulit mengartikan kata “religius” ini. Adakah tolok ukur kereligiusan seseorang? Apakah kebalikan “religius” adalah “atheis”? Singkatnya, apakah ia menganggapku seorang atheist? Sepuluh tahun yang lalu aku tidak pernah ambil pusing tentang kata orang perihal kereligiusanku. Kini, ketika umurku sudah tidak muda lagi, alias tua, aku mulai memikirkan kata orang tentangku. Untuk mencari jawabnya, aku mulai menelusuri artikel-artikel di internet tentang religi. Setelah aku membaca artikel-artikel tentang religius dan agama, naluriku mengatakan, aku bukan seorang atheist. Tetapi siapakah yang memferifikasi seseorang itu sebagai religius atau atheist? Atau diantara keduanya, alias nggak tahu apa-apa. Definisi-definisi tentang hal yang berkaitan dengan itu semua, tidak bisa menjelaskan dimanakah posisiku yang paling tepat. Dan lagi apa relevansinya untuk kuketahui? Kalau kembali pada persoalan mengikis berbagai keinginan, apakah aku sedang bergeser pada keinginan yang lain, yaitu keinginan mengenali diriku sendiri? Tetapi tentang diriku yang mana? Asal usulkah? Sampai tingkat nenek moyang yang mana? Tentang karakterkukah? Untuk apa aku harus tahu? Kapan aku mati? Bukankah kematian adalah misteri sang pencipta? Nah, apakah benar anggapan orang bahwa aku atheist bila aku mempercayai adanya sang pencipta? Rasanya tidak ada relevansi apapun tentang pemikiran atheist atau religius atau bahkan apapun ketika dalam menunggu kematian. Semua sekedar definisi yang tidak ada kekekuatan penentu dikehidupan nanti. Dikehidupan nanti? Adakah? Apakah itu bukan reinkarnasi yang pernah aku dengar dari ayahku? Apakah pemikiranku dalam bingkai konsep itu? Kalau demikian, apakah aku pada status sadar atau tidak sadar adalah penganut ajaran aliran Buddha?